Wednesday, 3 December 2025

OPERASI SANDARAN LANGIT

 OPERASI SANDARAN LANGIT


Langit Gaza dalam dunia alternatif itu memerah seperti bara api. Suara pesawat tanpa awak berdengung di kejauhan, membelah kesunyian yang semakin menegang. Puing-puing bangunan berdiri seperti tulang belulang kota yang pernah hidup penuh warna. Di antara reruntuhan itu, sebuah unit elit mendarat dengan parasut berkamuflase pasir.

Pasukan Elit Garuda TNI, satuan paling terlatih dalam misi urban di dunia alternatif ini, menerima mandat dari koalisi kemanusiaan internasional untuk mengevakuasi ratusan warga sipil yang terjebak antara dua kubu bersenjata.

Komandan pasukan itu, Kolonel Wisnu Arsatama, memegang kompas taktisnya. “Ingat,” katanya kepada seluruh tim, “kita bukan datang untuk menyerang. Kita datang untuk mengeluarkan siapa pun yang masih hidup.”

“Siap, Komandan!” seru pasukan dengan nada serempak namun tertahan—mereka tahu betapa seriusnya operasi ini.

Namun ada hal yang tak diberitahukan secara gamblang. Informasi intelijen menyebutkan bahwa jalur evakuasi kemungkinan akan beririsan dengan operasi ofensif satuan tempur IDF dalam dunia alternatif ini. Artinya, benturan bisa kapan saja terjadi, meski keduanya berada di bawah bayang-bayang misi internasional.


Sembari bergerak di antara bangunan runtuh, Letda Mirza—ahli pengintai—mengangkat tangannya. “Kontak visual, 300 meter. Unit patroli IDF bergerak mendekat.”

Wisnu menurunkan monokular. Benar. Empat kendaraan lapis baja ringan melaju perlahan, lampu sorot menyapu gelap.

“Tanpa konfrontasi,” tegas Wisnu. “Kita cari jalur selatan.”

Mereka memutar, tapi suara runtuhan dari arah kiri membuat mereka berhenti. Jeritan seorang anak terdengar, tertelan oleh debu dan batu. Wisnu langsung bergerak, memerintahkan dua prajurit medis mendekat.

Di balik tembok yang hampir roboh, seorang bocah laki-laki terperangkap, kakinya tertindih kusen besi. Ibunya berlutut sambil menangis, tak tahu harus melakukan apa.

“Kami dari tim evakuasi internasional,” ujar Wisnu.

Mereka bekerja cepat. Dalam dua menit, bocah itu berhasil dibebaskan. Namun suara mesin kendaraan IDF semakin mendekat. Sorot lampu makin terang.

“Komandan,” bisik Mirza, “kalau mereka melihat kita seperti ini, bisa salah paham.”

Wisnu menatap anak itu—kini berada dalam gendongan prajurit medis. “Kita tak akan tinggalkan mereka. Semua berlindung. Jangan angkat senjata kecuali sangat terpaksa.”

Kendaraan IDF berhenti hanya 50 meter dari posisi mereka. Prajurit-prajurit Israel dalam cerita ini keluar, bersenjata lengkap.

Komandan patroli, Kapten Yaron, melangkah maju. “Identifikasi!” serunya.

Wisnu berdiri tanpa agresi. “Kami Pasukan Garuda. Misi kemanusiaan. Ada warga sipil terluka.”

Yaron terlihat ragu. “Wilayah ini sedang kami amankan. Ada ancaman serangan roket. Kalian harus pergi.”

“Anak ini akan mati kalau kita tinggalkan.”

Yaron menatap bocah itu sejenak. Ada sesuatu dalam tatapannya—kebimbangan. “Berapa banyak warga yang bersama kalian?”

“Lebih dari lima puluh. Semuanya bersembunyi di ruang bawah tanah blok selatan.”

Yaron terdiam cukup lama. Lalu ia menekan komunikatornya. “Markas, saya temui unit evakuasi asing. Mereka bawa warga sipil. Mohon instruksi.”

Jawaban tak langsung datang. Hanya dengungan statis.

Dalam jeda itu, suara roket meluncur terdengar dari kejauhan.

Tiga detik kemudian—
BOOM!
Ledakan besar mengguncang tanah, menghantam salah satu kendaraan patroli IDF. Api menjilat ke langit.

Seketika, kedua pasukan bergerak serentak—bukan untuk melawan satu sama lain, tetapi mencari perlindungan.


“Tembakan dari arah barat!” teriak salah satu prajurit IDF.

“Bukan kita!” seru Wisnu. “Itu kelompok bersenjata lokal!”

Situasi langsung berubah menjadi kekacauan. Peluru melesat dari balik reruntuhan. Warga sipil berteriak ketakutan. Prajurit Garuda menutupi tubuh anak itu, sementara IDF memasang posisi defensif.

Wisnu melirik Yaron. “Jika kita bertahan di sini, semua orang mati. Saya punya rute aman. Tapi kita harus keluar bersama.”

Yaron mengencangkan helmnya. “Tunjukkan jalannya!”

Tanpa membuang waktu, Wisnu memberi isyarat. Pasukan Garuda membentuk formasi pelindung, sedangkan IDF menahan serangan dari sisi belakang.

Tembakan saling bersahutan. Runtuhan beterbangan. Namun formasi gabungan itu perlahan maju menuju lorong kecil yang tertutup bayangan malam.

Pada titik persimpangan sempit, prajurit penembak jitu Garuda, Pratu Kinan, mengintai melalui scope-nya. “Kontak musuh tiga orang, 120 meter. Mengarah ke kita.”

“Non-lethal,” perintah Wisnu.

Kinan mengangguk. Dengan lincah ia membidik kaki para penyerang, membuat mereka roboh tanpa membunuh. Ini membuka jalan bagi kedua pasukan untuk melanjutkan langkah.


Beberapa menit kemudian, mereka tiba di bangunan yang diyakini menjadi tempat persembunyian warga sipil. Ketika pintu bawah tanah dibuka, puluhan orang dengan wajah pucat keluar. Anak-anak digendong, para ibu menangis, dan para pria tua menggigil ketakutan.

“Kami akan bawa kalian semua ke zona aman,” kata Wisnu.

Yaron langsung menugaskan dua prajuritnya untuk membantu mengangkat lansia. “Percepat! Serangan bisa menyebar ke sini kapan saja!”

Tak butuh waktu lama sebelum ancaman berikutnya datang. Suara langkah cepat dari kejauhan. Mirza memperbesar sensor termalnya.

“Musuh bergerak dalam kelompok besar. Mereka akan mengepung!”

Wisnu menatap Yaron. “Aku butuh kalian untuk menahan sisi utara. Kami lindungi sisi timur.”

Yaron mengangguk, kali ini tanpa ragu.

Pertempuran pun pecah lagi. Peluru memantul dari tembok, suara ledakan kecil menggetarkan udara. Namun pasukan Garuda dan IDF saling menutup sektor, bergerak seolah telah berlatih bersama selama bertahun-tahun.

Di tengah pertempuran, Wisnu berteriak: “Evakuasi mulai! Semua warga menuju bus lapis baja internasional di titik Delta!”

Pasukan Garuda memimpin jalur depan, sedangkan IDF menutup jalur belakang. Serangan semakin intens, namun kedua pasukan berhasil mematahkan gelombang demi gelombang musuh.


Akhirnya, bus kemanusiaan terlihat di ujung jalan berbatu. Cahaya lampunya menembus gelap malam.

“Cepat! Cepat!” teriak prajurit medis Garuda.

Satu per satu warga sipil naik ke dalam. Bocah yang diselamatkan tadi melambaikan tangan kecilnya kepada Wisnu, yang hanya membalas dengan senyum tipis penuh kelegaan.

Yaron mendekat. “Kalau bukan karena kalian, kami tak akan pernah bisa keluar dari zona itu.”

Wisnu menepuk bahunya. “Hari ini kita di sisi yang sama. Itu yang penting.”

Keduanya berjabat tangan—keras, penuh saling hormat.

Bus melaju meninggalkan zona bahaya, sementara kedua pasukan kembali ke markas masing-masing. Di balik kelelahan dan debu yang menempel di wajah mereka, ada kenyataan yang sulit disangkal: meski berasal dari dua negara berbeda, dua dunia berbeda, bahkan mungkin dua realitas berbeda, mereka telah menyelamatkan nyawa bersama-sama.


Malam itu, saat Wisnu menatap langit Gaza yang kelam, ia berkata pelan pada dirinya sendiri,
“Kadang, perang memaksa manusia bertemu dalam cara yang tak terduga. Dan di tengah gelapnya konflik… selalu ada celah kecil tempat kemanusiaan bisa masuk.”